Recent

Thursday, March 31, 2011

Memahami peran budaya Pondok Pesantren

Orang sering melihat pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Ada juga yang memperlakukannya sebagai entitas politik karena para Kiai yang memimpin pondok pesantren memang memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat.

Sangat menarik melihat peranan politik yang sekarang dijalankan secara bertentangan diantara para Kiai dari pondok pesantren yang berbeda-beda. Peranan ini akan menunjukkan “model” yang akan diikuti para pemilih. Memang ada perbedaan aspirasi politik diantara mereka. Ada yang sekedar menggunakan pengaruh yang mereka miliki untuk kepentingan “mendekat” kepada para pejabat tertentu. Namun, ada pula yang lebih mementingkan kemaslahatan umat dan memelihara kepentingan masyarakat lebih luas.

Jarang sekali orang melihat pondok pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari peranan ini, itulah sebenarnya salah satu fungsi pondok pesantren yang (untuk sementara) diredupkan peranan politiknya. Dari hal itu timbul pertanyaan, dapatkah pondok pesantren (setelah melalui pertentangan dahsyat sebagai akibat pelaksanaan politik itu) akan utuh kembali (minimal sebagai lembaga yang membawakan peranan budaya) di masa-masa mendatang? Dapatkah pula pondok pesantren mempertahankan “kemurnian” yang dimilikinya?

Penjelasan singkatnya begini :
Kalau memang pondok pesantren mengalami proses politisasi sedemikian jauh sehingga kehilangan fungsi-fungsi lainnya kecuali fungsi politik, “hak hidup” yang dimiliki akan hilang dengan sendirinya karena ia akan mementingkan hubungan baik dengan sistem kekuasaan yang ada.

Dengan mengetahui peranan budaya yang dilakukan pondok pesantren, kita sebagai anggota masyarakat mendapatkan kekayaan pengetahuan tentang fungsi pondok pesantren. Jika peranan utama ini hilang dari kehidupan masyarakat, kita (termasuk saya pribadi yang juga alumni pondok pesantren) juga yang akan mengalami kerugian.

Peranan yang semula berdimensi budaya tidak dapat digantikan dengan peranan yang materialistis. Perkecualiannya adalah jika ada pergantian fungsi budaya oleh “peranan-peranan baru” yang tentu saja tidak dapat ditukar oleh sekedar keakraban dengan para pejabat dan penguasa-penguasa negara.
Dengan mengenal peranan pondok pesantren seperti yang telah disebutkan diatas, kita sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat penting. Akan kita biarkan sajakah pergantian peranan budaya pondok pesantren seperti yang diuraikan diatas oleh peranan materialistis dari sebuah pendekatan politis? Tentu saja jawabnya tidak. Karenanya, kita justru harus memperkuat bentuk-bentuk budaya baru yang hingga saat ini belum dikenal oleh warga pondok pesantren sendiri.

Contoh proses itu adalah munculnya formalisasi penggunaan kata-kata bahasa arab untuk nama pondok pesantren. Jika dahulu pondok pesantren dikenal berdasarkan nama daerahnya, seperti Pondok Pesantren Tebu Ireng (Jombang) dan Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta), sekarang menjadi Pondok Pesantren Salafiyah dan Al-Munawwir. Penggunaan bahasa arab ini tidak mengganggu proses budaya yang seharusnya berlangsung. Memang mudah mengatakan perubahan, tetapi yang lebih susah adalah melaksanakannya, bukan?

0 komentar:

Post a Comment