Recent

Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili : Tentang "Siksaan"

Siksaan itu terdiri dari empat macam : 1. Siksaan melalui adzab. 2. Siksaan melalui hijab. 3. Siksaan melalui pengekangan , dan 4. Siksaan ...

Gus Dur : Tentang tasawuf dan Wihdatul Wujud (Manunggaling kawula lan Gusti)

Di dalam sebuah buku, Alwi Shihab pernah memaparkan bahwa penyebaran Islam di Negeri ini dilakukan antara lain oleh kaum Ulama pesantren.

Dari Mujahadah ke Muraqabah, sampailah pada Musyahadah

Mujahadah : Berjihad menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa untuk dekat kepada Allah Ta’ala. Muraqabah : Memperhatikan gerak-gerik hati,...

Kita sering merasa yakin, tahukah apa itu "Yakin"?

Dan diantara tanda-tanda Ulama’ Akhirat itu ialah sangat bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan. Karena keyakinan itu adalah modal Agama....

Menjadi Manusia Yang Manusiawi

Maksud dari kalimat "Manusia yang manusiawi" adalah menjadi manusia yang baik dan benar, serta manusia yang benar dan baik.

Saturday, January 30, 2010

Bila waktu telah berakhir (Opick)

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
Meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masikah ada jalan bagimu untuk kembali
Mengulangkan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yang ada akan
Kembali padaNya

Bila waktu tlah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tingallah sepi


Download video klipnya disini

Semoga bermanfaat, Amin

Monday, January 25, 2010

Sekilas tentang percintaan yang ajaib (Syams ad diin dan Rumi)


Tidak banyak yang diketahui dari Syams al-Dien. ia muncul dengan tiba-tiba sebagai seorang darwis (guru spiritual pengelana). ia tiba di Konya -tempat tinggal Rumi- dari kota Tabriz pada sekitar bulan Oktober 1244. ia menginap di penginapan seorang saudagar gula.

Secara kebetulan (lebih tepatnya atas kehendak Allah SWT) Rumi bersama beberap orang terpelajar, mengendarai kudanya sehabis mengajar melewatirumah saudagar gula itu. tiba-tiba, muncul Syams al-Dien memegang kendali kuda Rumi dasn memunculkan sebuah pertanyaan. tak disangka, pertanyaan itu begitu membuat Rumi terkesima hingga mulai saat itu Rumi tidak bisa lepas dari Syams al-Dien. selama tiga bulan mereka mengasingkan diri dari keramaian, siang dan malam. dalam merasakan manisnya pertemuan itu, tiada seorangpun yang melihat keduanya. orang-orang tak pernah mengganggu kebebasan dua orang tersebut.

Para sahabat dan murid-murid Rumi merasa malu melihat guru mereka yang bijaksana bisa terserap dalam diri darwis aneh itu. namun Rumi sendiri merasa telah menemukan "seorang" kekasih sempurna, orang yang di dalam hati dan dirinya mencerminkan cahaya ilahi dengan sempurna. perasaan itu saja tak cukup bagi Rumi. ia menjadi tergila-gila pada Syams. keasyikan dengan Syams itu membuat ia berjarak dengan murid-muridnya. hingga para mmurid dan pengikutnya cemburu dan benci melihat pribadi, perilaku serta kehidupan Syams.

Tidak lama setelah merayakan pertemuan itu, Syams al-Dien tiba-tiba menghilang, kepergian Syams membuat Rumi kesepian dan putus asa. hilangnya Syams al-Dien menimbulkan kerinduan dalam jiwanya dan memicu Rumi untuk menggubah hasrat kerinduannya menjadi beberapa lirik puisi Persia. ia lagukan lirik itu sambil mengharap kembalinya Syams al-Dien.

Akhirnya Rumi mengetahui bahwa Syams al-Dien pergi ke Damaskus, lalu ia mengutus putra tertuanya, Sultan Walad untuk mengajak Syams al-Dien kembali ke Konya. dan sesampainyadi Konya, Syams al-Dien menempati rumah Maulan dan menikahi gadis muda pelayan rumah. dia menetap disana hingga tahun 1248, sebelum akhirnya menghilang sekali lagi dan tidak pernah ditemukan kembali.

Aflaki -salah seorang penulis awal biografi Rumi- melontarkan tuduhan pada anak kedua Rumi, bahwa ia lah sesungguhnya yang membunuh Syams al-Dien. dan beberapa peneliti kehidupan Rumi mempercayai kebenaran tuduhan itu. sedang bagi Rumi, perpisahan itulah yang justru mengejutkannya. ia memutuskan untuk pergi sendiri ke kota-kota dimana ia kira Syams al-Dien berada. ia pergi ke satu atau dua kota, untuk mencari sahabatnya itu. namun tiada bertemu jua, hingga akhirnya ia pasrah.

Dan dalam kepasrahannya itu ia berkata "aku tidak akan mencari lagi. aku akan mencari diriku sendiri. sebab, segala yang ada dalam diri Syams al-Dien, juga ada dalam diriku".

Ya, Syams al-Dien -Sang Guru Spiritual itu- telah mengantarkan Rumi menemukan kediriannya. Rumi telah menjadi Matahari karena pancaran matahari dari Tabriz.

Saturday, January 16, 2010

Tafakur, melampaui segala tahap kebaikan


Kita mungkin sering membaca ayat Al-Qur’an yang berbunyi “afalaa tatafakkaruun” (tidakkah kalian berfikir?), disini kita diperintahkan untuk terus berfikir akan segala kekuasaan, kebesaran, keagungan Allah SWT, dan yang lebih penting lagi yaitu selalu ingat pada-Nya. Mengingat Allah SWT berarti kita telah ingat pada pusat segala kebaikan, kebaikan-kebaikan yang lain seperti ikhlas, tawadlu’, tawakal dan segala kebaikan lainnya akan secara otomatis mengikutinya. Kita ambil saja contoh saat kita dihadapkan pada suatu masalah dan kita ingat akan Allah SWT, pastinya kita berfikir bahwa segala sesuatu datang dari Allah SWT (apapun itu). Mampu atau tidak mampu kita mengatasinya, itupun karena Allah SWT. Bersyukur untuk kemampuan kita, dan kita kembalikan pada-Nya pula untuk ketidakmampuan kita. Dari sini bukankah kita (mungkin secara tanpa sadar) sudah melampaui keikhlasan? Bukankah tawakal juga sudah kita lakukan?

Mengingat Allah SWT, berarti kita juga merasakan keberadaan Allah SWT yang senantiasa mengawasi kita, dengan begitu kita juga terjauhkan dari segala keburukan-keburukan. Ibaratnya, bagaimana mungkin seorang pembantu mencuri sesuatu didepan tuannya.

Berfikir akan keagungan dan kebesaran-Nya, menjadikan kita kerdil dihadapan-Nya, berfikir akan kekuasaan-Nya, menjadikan kita lemah dihadapan-Nya, berfikir akan kemuliaan-Nya, menjadikan kita hina dihadapan-Nya. Jadi, jika kerendahan hati (tawadlu’) adalah guru dari para guru kebaikan (Jalaludin Al-Rumi), maka tafakur adalah guru dari kerendahan hati itu. Jika kerendahan hati adalah pintu yang tak terkunci untuk menuju pada kebaikan, maka tafakur ilallah adalah tangga menuju pintu itu. Dengan tafakur pula lah kita akan merasakan bahwa Allah SWT hadir dalam setiap gerak, hadir dalam setiap perkataan, hadir dalam segala pemikiran, dan hadir dalam diri kita.

Sekarang mari kita simak baik-baik, kita semua pastilah sudah tahu bahwa kita lahir karena cinta kita pada Allah SWT, jiwa (ruh) telah bersumpah untuk setia hanya pada-Nya, lantas masuklah jiwa itu kedalam jasad dan hiduplah kita. Bagaimana bisa kita tidak memikirkan-Nya? Ambil saja contoh sepasang dua sejoli yang saling mencintai, dengan adanya rasa cinta dalam diri mereka tidak akan mungkin jika tidak memikirkan orang yang dicintainya. Disetiap langkah selalu terlintas bayangan sang kekasih, bahkan segala pikiran telah terpenuhi oleh sang kekasih. Lantas bagaimana antara kita dengan Allah SWT yang sejatinya adalah kekasih yang sejati? Begitu mudahkah kita melupakan-Nya dalam setiap gerak dan pikiran kita?

Wednesday, January 13, 2010

Islam bukan ajaran yang "Dangkal"


Ajaran Islam yang mudah dicerna, masuk akal dan rasional, agaknya pas jika diberikan pada mereka yang masih awam pada Islam, atau tepatnya para muallaf. Namun, cukup disitukah kita akan berhenti memahami Islam? Untuk seseorang yang memang sudah benar-benar berhati Islam, sudah sepatutnya menapaki tahap yang lebih mendalam lagi, tahap untuk memasuki dimensi yang tak bertepi dimana akal sudah tak mampu menjangkau lagi.

Mungkin banyak orang diantara kita sepakat bahkan mati-matian membela pendapat mereka yang tak lebih dari sekedar generalisasi yang terburu-buru, yang punya akar historis dan implikasi ke depan yang panjang. It’s ok..Tapi untuk mengatakan bahwa semua ajaran Islam adalah ajaran yang rasional, tunggu dulu.

Medan (dimensi) akal adalah otak. Sedangkan dalam Islam bukan hanya menyantuni akal pikiran atau otak, melainkan hal yang lebih penting lagi yaitu “hati” (batin/qalbu). Justru inilah yang sebenarnya merupakan esensi dan misi Islam, menyantuni dan mengisi kekayaan hati (ruhani) yang tak bertepi, tak beralas, dan tak berlangit. Sebagian orang bisa saja merasionalisasikan atau mengakal-akali puasa dengan mengatakan bahwa “puasa akan membuat kita menjadi sehat” (ini hanya sekedar contoh) padahal sejatinya puasa akan (mudah-mudahan) membuat kita lebih bertakwa, lantas apakah itu takwa? Hal inilah yang hanya bisa dipahami dan dihayati secara batiniah, takwa tak bisa dirumuskan persis oleh rasio (akal). Sedangkan berbicara soal ruhaniah (batin), kita sudah masuk dalam dimensi dimana akal tak selalu bisa, bahkan (sering) tak pernah bisa menjangkaunya (mengintervensinya). Jangkauan rasio (akal) terhadap medan ruhaniah (hati) hanyalah akan mengakibatkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran agama, ajaran agama diperas agar masuk akal. Jika kita terus berpegang pada hal yang demikian dan tak mau lagi mengembara ke dalam hal-hal yang lebih jauh lagi, maka ajaran agama praktis akan menjadi sebuah ajaran yang dangkal. Akibat yang lebih parah lagi adalah pendangkalan spiritual agama, ia menjadi kering dan aus.

Akal memang telah menghasilkan sains. Menurut pengalaman di jaman modern ini membuktikan bahwa rasio dan sains memang membawa manusia kearah hidup yang lebih comfortable. Tapi apakah keduanya berhasil membuat hidup lebih bermakna? Tak perlu argumentasi yang panjang untuk menjawab pertanyaan ini, cukup dengan menunjukkn fenomena kebangkitan agama di Barat dan Timur, yang disebabkan oleh gelombang kekuatan dari para pencari makna kehidupan, what’s the meaning of live.

Lantas apakah yang dicari orang-orang barat di dalam Islam? Banyak intelektual barat yang beralih agama ke Islam justru tertarik dengan kekayaan ruhaniah Islam, terutama tasawuf. Dan apakah tasawuf dapat dirasionalkan? Jawaban mereka “Absolutely not, and it’s not necessary”. Walhasil, sufisme dan tarekat-tarekat tumbuh subur termasuk di belantara beton Manhattan, lengkap dengan “sufi book store”.

Singkatnya, argumentasi bahwa Islam adalah ajaran yang rasional merupakan upaya yang bertolak dari suatu kesadaran atau sedikitnya berada diambang kesadaran untuk melakukan konfirmasi, kecocokan dengan dunia barat yang serba rasional. Banyak tokoh-tokoh sanjungan agama (yang diklaim sebagai modernis) ini gagal memberikan jawaban yang tuntas terhadap nestapa kaum muslimin.

Singkatnya lagi, slogan yang lebih mengena kepada diri seorang yang Islam adalah “kembali pada kekayaan hati (batin Islam)”. Ini (setidak-tidaknya) bisa diawali dan dilakukan tanpa harus mengesampingkan penggunaan akal, namun jika kita tetap berdiri pada rasionalitas (lebih tepatnya berhenti pada apa yang hanya mampu tertangkap oleh akal), maka keyakinan kita tak akan punya masa depan. Jika Islam ingin berperan lebih positif ditengah hingar bingar modernisasi, itu justru disebabkan oleh warisan spiritualnya, yang tidak lain adalah pengembaraan “hati”.

Monday, January 11, 2010

HAKIKAT PERJALANAN


Perjalanan adalah metafora. hidup, seperti sering dikatakan orang adalah perjalanan, pengembaraan dari sau titik menuju titik akhir. pada tingkat individual, hidup adalah perjalanan fidik semenjak kelahiran sampai kematian. perjalanan ini masih berlanjut pada perjalanan di alam barzah menuju keabadian.

Nabi Muhammad SAW, tidak terkecuali, adalah pengembara. tapi berbeda dengan kebanyakan manusia biasa, Nabi Muhammad mengembara di sepanjang jalan yang benar (al-shirath al mustaqim), menapaki jalan atas panduan Tuhan. setidaknya terdapat tiga perjalanan nabi Muhammad SAW yang sangat pentung dan paradigmatik bagi kaum muslimin.

Perjalanan pertama nabi Muhammad SAW adalah Isra' Mi'raj. sepanjang peristiwa Isra', Nabi muhammad SAW berjalan atau "diperjalankan" dari masjid Al-Haram di Mekah menuju masjid Al-Aqsa di yerussalem. selanjutnya, dari sana Nabi melakukan Mi'raj ke singgasana Tuhan. dilihat dari apa yang dialaminya sepanjang perjalanan, Isra' mi'raj jelas merupakan perjalanan untuk menempuh perjalanan di dunia lain bagi Nabi Muhammad. riwayat-riwayat diseputar perjalanan Nabi ini menyatakan bahwa di masjid Al-Aqsa beliau ditemani oleh Nabi-Nabi terdahulu, mereka bahkan meminta Nabi Muhammad SAW untuk mengimami mereka dalam mengerjakan shalat.

Selanjutnya, ketika Mi'raj, malaikat jibril memperlihatkan kepada Nabi Muhammad berbagai lapis langit. Beliau bertemu dengan Rasul-Rasul terdahulu, sekaligus menyaksikan mereka yang dikutuk Tuhan ke dalam tempat yang penuh kesengsaraan. banyak kaum muslimin percaya bahwa Isra' Mi'raj melibatkan perpindahan Nabi Muhammad SAW secara fisik. namun, ada juga tradisi interpretasi non-literalistik yang berpendapat bahwa Isra' Mi'raj merupakan pengalaman spiritual dan batin. tetapi, jika dipahami sebagai konsep generik, Mi'raj memberikan metafora bagi penjelasan-penjelasan tentang dinamika pertumbuhan spiritual seseorang. dalam pandangan jalaludin rumi, sekedar berbicara dan bertindak adalah jalan penuh debu dari perjalanan zahir (jasmaniah) seseorang, sedangkan perjalanan batiin membawa ruh melintasi langit menuju kesempurnaan spiritual.

Mempertimbangkan hal ini, tidak heran kalau perjalanan Isra' Mi'raj Nabi menjadi model bagi banyak aspirandan peminat dalam perjalanan dan kesempurnaan ruhani. Abu Yazid Al-Bistami, misalnya, menyatakan bahwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan merupakan teladan paling sempurna dari perkembangan dan kemajuan ruhaniah.

Perjalanan kedua Nabi Muhammad adalah "hijrah" atau pindah dari Mekah ke Madinah pada 622 M. perjalanan ini menandai bermulanya sejarah kaum muslimin. tetapi lebih dari itu, perjalanan ini telah menjadi metafora persyaratan fundamental bagi setiap kaum muslim dalam hubungannya dengan dunia dan sekitar mereka. secara simbolis, mereka harus bersedia meniggalkan kediaman mereka, mendengarkan panggilan Tuhan guna membangun sebuah masyarakat yang adil, menempuh resiko dalam menghadapi dan memerangi kepercayaan dan kebudayaan pagan demi kepentingan sebuah keimanan kepada Tuhan. dengan demikian, hijrah semula merupakan metafora dari perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain yang lebih memungkinkan bagi tercapainya tujuan-tujuan untuk menegakkan nilai-nilai Islam.

Dalam perkembangan lebih lanjut, hijrah juga dapat berarti sejumlah tindakan yang tidak selalu berupa perpindahan fisik. hijrah, misalnya, juga merupakan metafora dari perpindahan nilai yang dilakukan seseorang termasuk penganut muslim sekalipun, seperti meninggalkan nilai-nilai yang tidak disukai Tuhan, untuk kemudian sepenuhnya masuk kedalam Islam. dalam konteks terakhir ini, lagi-lagi perjalanan hijrah merupakan transformasi spiritual, yang jika ditingatkan intensitasnya akan membuat seseorang bisa mencapai kesempurnaan ruhaniahnya.

Banyak pemikir Islam kontemporer mengartikan hijrah dalam makna terakhir ini. Al-Maududi, misalnya, memandang hijrah sebagai perpindahan seorang muslim dari nilai-nilai jahiliyah modern kepada tatanan Islami (Nizham al-Islami). sedangkan Ayatullah khomeini memahami hijrah sebagai perjalanan ruhani yang melibatkan perjuangan melawan kecenderungan setiap orang untuk mementingkan dirinya sendiri.

Perjalanan ketiga nabi Muhammad SAW yang penuh makna simbolis adalah perjalanan ibadah haji (hajj wada') dari madinah ke Mekah menjelang akhir hayatnya. dalam perspektif religio-politik, perjalanan ini merupakan pernyataan tentang penguasaan kaum muslimin atas tempat suci Mekah. tetapi lebih dari itu, perjalanan haji ini mempunyai implikasi spiritual simbolis, perjalanan ini adalah kembali kepada pusat kesucian yang terbentuk sejak masa Nabi Ibrahim as. karena itulah, kaum muslimin yang mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad SAW mengadakan perjalanan haji ke Mekah tidak sekadar melakukan perjalanan fisik, tetapi juga menggambarkan perjalanan abadi sepanjang kehidupan menuju ke pusat kekudusan keILAHIan.

Perjalanan ibadah haji menuju ka;bah adalah metafora dari "akhir" perjalanan, karena ia adalah titik asal semua ciptaan Tuhan. para penyair muslim sering menyebut ka'bah sebagai harapan dan cinta, atau kebajikan yang dipandang penting dan selalu dicari atau diimpikan orang. Jalaludin Rumi, sekali lagi, menganggap bahwa Ka'bah yang secara fisik di Mekah dan merupakan perpanjangan dari "Ka'bah" yang terdapat di kalbu (hati).

Pada akhirnya, ada baiknya mengutip dari apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Arabi bahwa setiap perjalanan ruhaniah terdiri dari tiga jenis, perjalanan menjauh dari, menuju kepada, dan dalam Tuhan. para pendosa mengalami frustasi dalam perjalanan tnpa akhir, mereka yang beriman tetapi belum sempurna dalam pengetahuan tentang wujud Tuhan,sampai ke titik kehadiran Tuhan, tetapi terhalang hijab untuk menyaksikan-Nya, dan mereka yang terpilih yang pada akhir perjalanannya barhasil menyaksikan Tuhan. ketiga perjalanan Nabi Muhammad SAW adalah perjalanan menuju kepada dan dalam Tuhan.

SubhanALLAHu wal hamduliLLAHi walaa ilaaha illALLAHu waLLAHu akbar, walaa haula walaa quwwata illaa biLLAHi al 'aliyyi al 'adziim...

Di kutip dari buku "MENUJU MASYARAKAT MADANI", Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A

Friday, January 8, 2010

Letto - Sebelum Cahaya



Letto - Sebelum Cahaya

Ku teringat hati
Yang bertabur mimpi
Kemana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi
Engkau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta

Chorus:
Ingatkan engkau kepada
Embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya
Ingatkan engkau kepada
Angin yang berhembus mesra
Yang kan membelaimu cinta

Kekuatan hati yang berpegang janji
Genggamlah tanganku cinta
Ku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri
Temani hatimu cinta

Chorus

Ku teringat hati
Yang bertabur mimpi
Kemana kau pergi cinta
Perjalanan sunyi
Engkau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati cinta

Chorus


created by Halim Firmansyah

Thursday, January 7, 2010

Keterpaduan rasa dan akal untuk Dunia Baru (RASIONAL RELIGIUS)


Maka, apa yang sekarang dibutuhkan oleh manusia kini.? kebudayaan modern yang sekuler jelas mengalami kebuntuan kemanusiaan. sedang masuk ke dunia mistik, hanya akan sampai pada kegelapan hidup. lalu bagaimana kita bersikap?

Kita tampaknya harus menguatkan rasa kita, namun tidak dengan meninggalkan akal. hati kita haruslah berpadu dengan akal. sebab, tanpa akal kita hanya akan terjebak pada dunia mistik yang berakhir dengan kegelapan. mungkin ada benarnya sebuah kiasan bahwa hati adalah raja dan akal sebagai penasehatnya (hakim). sebab, hati tanpa akal bisa jadi raja yang gelap mata. dan itulah sesungguhnya spiritualitas Qur'ani, yaitu kehidupan yang rasional religius.

Sejalan dengan itu, yang dibutuhkan manusia (umat islan khsususnya) sekarang untuk membangun dunianya agar menjadi lebih baik adalah islam rasional. makna rasional disini tentu tidak sekuler, sebab sekulerisme hanya akan sampai pada kebuntuan kemausiaan. dan dalam hal ini, perlu dikembangkan pemikiran tentang akhlak (tentu juga tidak dalam definisi yang sempit). pemikiran ini merupakan upaya agar umat islam dapat menjawab tantangan-tantangannya dengan jawaban yang bersifat praktis.

Kecenderungan ummat islam (walaupun tak semua), yang hanya senang memperbincangkan hal-hal bersifat teologis dan normatif membuat ummat islam tidak memiliki jawaban-jawaban yang memadai untuk meretas jalan kehidupan modern. karena itu Al-Qur'an sebagai harta ummat islam yang sangat berharga harus senantiasa digali. tidak hanya dengan kajian kitab kuning, namun juga kitab "putih". yaitu menggalinya dengan cara berfikir saintifik. sehingga terwujud sikap ummat islam yang historis, tidak sekedar normatif. dan sikap ideal dari penggalian Al-Qur'an itulah yang merupakan penjabaran penyempurnaan akhlak seperti Sabda Rasulullah SAW:

"Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak" (HR Bukhari)

Dan karena itu pada akhirnya kita bisa berharap bahwa islam akan benar-benar bisa menjadi rahmatan lil 'aalamiin. sebagai awal penyempurnaan akhlak sosial, dalam dataran individu perlu ditanamkan sifat wara'. sifat yang merupakan salah satu maqamat (tahapan-tahapan) sufi yang mengharuskan berhati-hati agar tetap berada dijalan yang benar dengan melakukan atau memakan barang-barang yang halal saja (yang sudah jelas halalnya). senantiasa menghindari perbuatan atau barang yang syubhat (meragukan), apalagi yang jelas haramnya.

Perilaku ini tentu berpengaruh banyak dalam kehidupan manusia yang ingin mencapai keutamaan. mereka yang senantiasa wara' tentu akan sulit tercebur pada kehidupan yang rendah. tak akan pernah terlibat KKN ataupun tindakan kejahatan lainnya. dan pada mereka yang wara' itulah, rasionalitas religius akan tumbuh. semangat yang akan melambungkan masyarakat pada tatanan dunia baru yang lebih baik. maka dari itu, marilah segera kita tanamkan sifat wara' dalam diri kita dimanapun kita berada dan dalam situasi yang bagaimanapun.

WaLLOHu a'lam bi Ash shawab.